Manggarai Timur – detiksatu.news
Di tengah keterbatasan akses dan perhatian, Ejhi Serlenso, wartawan dari idenusantara.com, membuktikan bahwa profesi jurnalis bukan hanya tentang menulis, tetapi juga tentang aksi nyata. Ia menyerahkan langsung bantuan kursi roda dan sembako kepada dua penyandang disabilitas di wilayah terpencil Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Bantuan pertama diberikan kepada Nisalia Sarman, penyandang disabilitas asal Kampung Peleng, Desa Haju Ngendong, Kecamatan Elar. Nisalia hidup dalam perawatan ibunya seorang diri, setelah sang ayah merantau dan tak pernah kembali. Bantuan kedua diterima oleh Rensiana Nir, warga Kampung Bobo, Desa Benteng Rampas, Kecamatan Lambaleda Timur. Rensiana dirawat oleh kedua orang tuanya yang telah lanjut usia.
Jurnalisme Hati Nurani
“Sudah lama saya menulis tentang kaum terpinggirkan. Kini saya berusaha mewujudkannya lewat tindakan nyata,” ujar Ejhi saat ditemui usai penyerahan bantuan.
Ejhi mengaku, kepeduliannya terhadap penyandang disabilitas muncul dari banyaknya kisah pilu yang ia temui selama bertugas. Ia tak hanya menulis berita, namun juga menyuarakan penderitaan mereka kepada dunia dan menjembatani kebutuhan mereka dengan para dermawan.
“Bentuk kepedulian ini saya wujudkan melalui kursi roda dan bantuan sembako. Harapan saya, pemerintah daerah hingga desa tidak menutup mata dan lebih aktif mendata kelompok rentan agar suara mereka didengar,” tambahnya.
Air Mata Haru dari Kampung Bobo
Longginus Jarut, ayah dari Rensiana Nir, tak bisa menyembunyikan rasa harunya. “Sudah bertahun-tahun kami berharap, sudah sering minta ke pemerintah, tapi belum pernah dapat. Hari ini kami benar-benar merasakan bantuan nyata,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Ia pun menyampaikan terima kasih kepada Ejhi dan semua pihak yang turut membantu. “Terima kasih kepada seluruh awak media dan orang baik. Semoga kalian terus diberkati dan sukses,” ucapnya penuh rasa syukur.
Menulis dari Desa, Menyuarakan yang Tak Terdengar
Ejhi bukan wartawan kota. Ia hidup dan menulis dari desa. Bukan karena tidak mampu bersaing di ibukota, melainkan karena ia memilih berada di tengah masyarakat yang kisahnya jarang tersorot kamera.
“Orang-orang desa punya cerita, tapi tak semua bisa didengar. Saya ingin menjadi penghubung. Saya tulis mereka dengan kata sederhana, tapi dari hati,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, Ejhi menghadapi banyak tantangan: jaringan internet buruk, jalan rusak, keterbatasan alat, dan tak punya kendaraan sendiri. “Kadang saya pinjam motor tetangga, potret pakai HP seadanya, tapi saya tetap jalan karena saya percaya, Tuhan menolong,” katanya.
Jurnalis Sebagai Agen Perubahan
Menurut Ejhi, jurnalis bisa berperan lebih dari sekadar melaporkan. Mereka bisa:
1. Mengangkat kisah penyandang disabilitas lewat liputan yang menyentuh.
2. Menjadi penghubung antara kelompok rentan dan pemerintah atau donatur.
3. Mendorong aksi sosial dan penggalangan bantuan.
4. Membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya dukungan bagi difabel.
5. Melibatkan keluarga dan penyandang disabilitas dalam liputan, agar suara mereka tak terpinggirkan.
“Wartawan itu bukan hanya menulis. Kita bisa menjadi jembatan harapan. Saya percaya, setiap langkah kecil yang kita ambil akan membuka jalan lebih besar bagi mereka yang membutuhkan,” pungkas Ejhi.
Penutup: Misi yang Terus Hidup
Ejhi Serlenso adalah contoh nyata bahwa kepedulian tak selalu datang dari lembaga besar atau figur publik terkenal. Terkadang, suara paling jernih datang dari desa kecil, melalui tangan seorang jurnalis yang bersedia mendengarkan, menulis, dan bertindak.
Semoga semangat dan ketulusan Ejhi menginspirasi lebih banyak orang untuk bergerak—karena satu kursi roda mungkin tampak kecil, tapi bagi mereka yang menerimanya, itu adalah harapan besar untuk terus hidup dan berjuang.***
Penulis: DJOHANES BENTAH