Ketapang, detiksatu.news II. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (Kejati Kalbar) tengah membongkar skandal pengadaan barang dan jasa yang mengejutkan di lingkungan Politeknik Negeri Ketapang. Sedikitnya 40 paket proyek dengan nilai total Rp7,6 miliar diduga dipecah-pecah secara sistematis untuk menghindari proses tender terbuka yang lebih transparan.
Modusnya: memanfaatkan skema Pengadaan Langsung (PL) dan e-Purchasing, dua jalur pengadaan yang rawan diselewengkan karena minim pengawasan. Celakanya, hampir seluruh paket itu disebut-sebut dikuasai oleh dua perusahaan yang sama—CV Nayla Lizz Bertuah dan CV Bersatu.
“Ini patut diduga sebagai rekayasa berjemaah. Dua CV itu tampaknya hanya dijadikan kedok, sementara otak sebenarnya kemungkinan besar dari internal kampus,” ungkap seorang sumber di Kejati Kalbar yang minta identitasnya dirahasiakan.
Nama Direktur Politeknik Negeri Ketapang, Irianto, dan Ketua Satuan Pengawas Internal (SPI) kini mencuat dalam penyelidikan. Sedangkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek mangkir dari pemeriksaan dengan alasan sakit stroke.
Lebih dari lima sumber berbeda membisikkan pola yang serupa: pengondisian proyek oleh oknum dalam kampus, manipulasi administrasi, hingga “pinjam nama” CV sebagai tameng hukum. Jika semua ini terbukti, maka bukan hanya penyimpangan—ini adalah korupsi terstruktur di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral dan intelektual.
Masyarakat mendesak Kejati Kalbar untuk tidak setengah hati. Rp7,6 miliar bukan angka kecil—dan setiap rupiahnya adalah amanah publik yang diduga dibajak oleh tangan-tangan kotor di balik meja kampus.
Jika aparat hukum sungguh-sungguh, kasus ini bisa jadi pintu masuk mengungkap praktik korupsi berjamaah di sektor pendidikan. Tapi publik juga bertanya: apakah hukum akan berani naik kelas, atau kembali jeblok karena tumpul ke atas?
Reporter : Syah