Pelapor Khusus PBB untuk wilayah pendudukan memperingatkan bahwa langkah pengakuan negara Palestina tidak boleh mengalihkan perhatian negara anggota dari upaya menghentikan kematian massal dan kelaparan di Gaza.
“Tentu saja penting untuk mengakui negara Palestina,” kata Francesca Albanese kepada The Guardian setelah sejumlah negara menanggapi meningkatnya kelaparan di Gaza dengan mengumumkan rencana untuk mengakui Palestina sebagai negara merdeka. “Tidak masuk akal jika mereka belum melakukannya sejak dulu.”
Namun, ia menilai perdebatan panjang soal kenegaraan Palestina sejauh ini tidak menghasilkan kemajuan politik, justru memungkinkan penyebaran permukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan yang hampir menghapus kemungkinan berdirinya negara Palestina.
“Wilayah itu secara harfiah telah ‘dilalap’ oleh kemajuan aneksasi dan kolonisasi,” ujarnya.
Pekan ini, Australia bergabung dengan Inggris, Kanada, Prancis, dan negara lain dalam berjanji untuk mengakui negara Palestina di Sidang Majelis Umum PBB bulan depan. PM Anthony Albanese (tidak berkerabat) menyebut solusi dua negara sebagai “harapan terbaik umat manusia untuk memutus siklus kekerasan di Timur Tengah”.
Namun, Pelapor Khusus itu mengingatkan bahwa dorongan baru untuk pengakuan kenegaraan Palestina tidak boleh “mengalihkan perhatian dari inti masalah: genosida”.
Ia menyerukan embargo total penjualan senjata ke Israel, penghentian perjanjian dagang, serta akuntabilitas atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang didakwakan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap pejabat puncak Israel. Ia juga menuntut penarikan penuh Israel dari wilayah pendudukan sebelum tenggat 17 September yang ditetapkan Majelis Umum PBB.
Mengakhiri persoalan Palestina sesuai hukum internasional itu mungkin dan perlu: hentikan genosida hari ini, akhiri pendudukan permanen tahun ini, dan akhiri apartheid,” tegasnya. “Itulah yang akan menjamin kebebasan dan hak setara untuk semua orang, apa pun bentuk hidup yang mereka pilih – dalam dua negara atau satu negara – itu keputusan mereka.”
Selama tiga tahun menjabat, terutama sejak perang Israel di Gaza pasca serangan Hamas 7 Oktober 2023, Albanese menjadi salah satu pembela hak-hak Palestina yang paling vokal dan dikenal. Laporan teknisnya yang menuduh Israel menjalankan “rezim apartheid” dan melakukan “tindakan genosida” sering kali mendahului kesimpulan serupa dari kelompok HAM internasional dan Israel.
Bulan lalu, pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi kepada Albanese atas dukungannya terhadap hak Palestina dan “promosi memalukan” aksi ICC terhadap pejabat Israel.
Meski menyebut dirinya “pencatat genosida” yang enggan, dan dijuluki orang lain sebagai “suara hati nurani global”, ia juga kerap menjadi sasaran kecaman dan tuduhan antisemitisme, hingga pernah diwawancara TV dengan pertanyaan pertama: “Apakah Anda seorang antisemit?”
Antisemitisme dan diskriminasi terhadap Yahudi sebagai Yahudi itu menjijikkan,” kata Albanese dalam wawancara Desember lalu. “Tapi saya sama sekali tidak peduli siapa yang memimpin Israel – Yahudi, Muslim, Kristen, atau ateis… Yang saya mau hanyalah Israel bertindak sesuai hukum internasional.”
Albanese menyebut perpecahan global yang kian melebar terkait tindakan Israel di Gaza sebagai “perjuangan terakhir” dan pertarungan antara “cahaya dan kegelapan”. Ia menilai sanksi AS terhadapnya bukan tanda kekuatan, “melainkan rasa bersalah”.
“AS adalah negara penuh kontradiksi, sarat dengan cita-cita dan prinsip, namun tetap merencanakan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi,” katanya. “Mereka yang berkuasa – baik Demokrat maupun Republik – selalu dipandu oleh logika supremasi terhadap pihak lain, dan strategi ini secara terbuka mengkhianati nilai demokrasi dan kebebasan fundamental AS.”
Ia juga mengkritik Sekjen PBB António Guterres karena gagal lebih tegas mengutuk “pelanggaran luar biasa” terhadap hak istimewa dan kekebalan yang secara tradisional diberikan kepada perwakilan PBB.
Albanese menyebut pertemuan Hague Group – konferensi 30 negara di Kolombia untuk menyusun langkah praktis agar negara anggota PBB menekan Israel mengakhiri pendudukan – sebagai “kekuatan moral dalam sistem” yang bertumpu pada penghormatan hukum internasional dan multilateralisme, yang menurutnya adalah syarat dasar bagi komunitas internasional yang berfungsi.
Menurutnya, PBB sedang berada di “momen krisis eksistensial” dan harus memutus mentalitas blok veto, menempatkan penekanan pada Majelis Umum, dan menghormati 193 negara anggota yang semuanya punya suara.
Perang 21 bulan Israel di Gaza, katanya, telah memicu “pergeseran besar” pandangan dunia soal konflik tersebut, sekaligus “represi brutal”.
Kita melihat jutaan orang turun ke jalan menuntut diakhirinya genosida, namun mereka dipukuli, ditangkap, dan dituduh terorisme, sementara mereka yang dicari ICC atas tuduhan kejahatan perang justru disambut dan diizinkan terbang melintasi wilayah udara Eropa dan Barat,” ujarnya. “Ini konyol. Ini akhir dari supremasi hukum.”
Ia menambahkan bahwa hukum internasional “bukan ramalan… melainkan alat untuk memperbaiki keadaan. Faktanya, ketika digunakan di pengadilan, biasanya dimenangkan.”
Meski demikian, ia optimistis wacana global tentang tindakan Israel kini berubah. “Satu generasi baru sekarang berbicara dalam bahasa hak asasi manusia,” katanya. “Bagi saya, ini sudah merupakan keberhasilan.”
Jurang yang semakin lebar antara para penguasa dan jutaan orang yang turun ke jalan mendukung Palestina menjadi salah satu alasan laporan terbarunya fokus pada perusahaan global yang ia sebut “meraup untung dari genosida”.