Pulau Kera, detiksatu.news – Di bawah sengatan terik matahari yang membakar kulit, suara rakyat bergema lantang dari Pulau Kera pada 31 mei 2025. Masyarakat bersama Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) NTT berdiri tegak, menyuarakan penolakan keras terhadap upaya relokasi yang dianggap tidak manusiawi dan penuh intimidasi dari pemerintah Kabupaten Kupang.
Dengan lantang mereka meneriakkan:
"Salam demokrasi nasional!" – "Salam!"
"Hidup nelayan!" – "Hidup!"
"Tolak relokasi!" – "Tolak!"
Slogan yang viral ini menggema, bukan hanya sebagai simbol perjuangan, tapi sebagai tamparan keras terhadap kebijakan yang dianggap menindas masyarakat kecil.
Dalam pernyataan sikap yang penuh semangat, massa aksi menyatakan dengan tegas:
“Kami dari Front Mahasiswa Nasional Cabang Kupang bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria AGRA NTT dan masyarakat Pulau Kera, hari ini menyatakan sikap bahwa kami menolak bentuk relokasi apapun! Relokasi bukan solusi. Hadirkan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan masyarakat hari ini, bukan relokasi yang dijadikan tolak ukur!”
Diiringi pekikan:
"Tolak relokasi!" – "Tolak!"
"Relokasi bukan solusi!" – "Tolak!"
Selain itu, massa juga mengecam keras tindakan intimidasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah di Desa Naileu, Kecamatan Kie, Kabupaten TTS. Mereka menyebut perilaku aparat pemerintahan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat.
“Kami mengecam dan mengutuk keras tindakan pihak kehutanan di Desa Naileu! Kami juga menuntut:
1. Cabut SK 537 Tahun 2016 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penetapan kawasan Latumbesi sebagai hutan produksi tetap.
2. Hentikan segala bentuk intimidasi oleh Kepala Desa Naileu terhadap rakyat yang sedang berjuang!
3. Tindak tegas pihak desa yang telah mengintimidasi masyarakat adat Naileu!”_
Dengan penuh semangat, pekikan perlawanan kembali terdengar membelah udara panas siang itu. Masyarakat tak hanya menolak relokasi, tapi juga membela tanah leluhur dan laut sebagai sumber hidup yang tak tergantikan.
"Relokasi adalah bentuk penggusuran terselubung! Kami tidak butuh janji, kami butuh keadilan!” teriak salah satu orator lapangan.
Kini, perjuangan mereka di Pulau Kera dan Naileu menjadi simbol perlawanan rakyat kecil yang sadar akan haknya. Mereka bukan lagi sekadar nelayan atau petani biasa, mereka adalah pejuang keadilan yang bangkit dari ketertindasan.
Suara dari pulau terpencil ini kini menggema lebih luas—menjadi nyala api kesadaran bagi seluruh masyarakat yang selama ini diam di bawah bayang-bayang kebijakan yang keliru.
"Jika tanah dan laut kami diambil, apa lagi yang tersisa dari hidup kami?" ujar seorang ibu nelayan dengan mata berkaca-kaca, namun suara penuh keberanian.
Pulau Kera hari ini bukan hanya medan perjuangan. Ia menjadi simbol bahwa rakyat yang bersatu tidak akan pernah bisa ditaklukkan oleh kekuasaan yang sewenang-wenang.
Reporter: DJOHANES BENTAH