Papua, detiksatu.com ||Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila-sebuah momen historis yang semestinya bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum reflektif terhadap komitmen kebangsaan Minggu, 01/06/2025
Namun di Tanah Papua, gema Pancasila kerap terdengar kontras dengan kenyataan hidup masyarakatnya. Alih-alih menjadi ideologi pembebasan dan keadilan, Pancasila justru sering terasa sebagai retorika yang menjauh dari praksis.
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama menegaskan penghormatan terhadap nilai spiritualitas dan kebebasan beragama. Namun di Papua, nilai-nilai adat dan keyakinan lokal seringkali dikorbankan demi kepentingan modal dan proyek-proyek negara. Eksploitasi tanah ulayat, perusakan situs-situs sakral, serta pelecehan terhadap sistem kepercayaan lokal menunjukkan bagaimana negara abai terhadap nilai ketuhanan yang menjunjung martabat spiritual manusia.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Salah satu luka paling dalam dalam relasi negara dengan rakyat Papua adalah kegagalan menegakkan kemanusiaan. Kekerasan aparat, operasi militer, pengungsian, dan pelanggaran HAM masih menjadi catatan kelam yang belum terselesaikan. Ketika nyawa manusia lebih mudah hilang ketimbang dipertanggungjawabkan, dan keadilan lebih sering diabaikan ketimbang ditegakkan, sila kedua berubah menjadi utopia.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Persatuan seharusnya dibangun atas dasar saling menghormati dan kesediaan untuk mendengar. Tetapi bagi banyak orang Papua, narasi "persatuan" terasa sebagai pemaksaan dan pembungkaman. Ekspresi kultural dan sejarah lokal yang unik sering kali tidak mendapatkan ruang, bahkan dicurigai sebagai ancaman. Alih-alih inklusif, persatuan menjadi monolitik—mewakili kehendak segelintir pusat kekuasaan.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Partisipasi rakyat adalah inti demokrasi Pancasila. Namun, di Papua, banyak kebijakan dari pemekaran daerah, eksplorasi sumber daya, hingga pembangunan infrastruktur dilakukan tanpa musyawarah yang sejati dengan masyarakat adat. Proses partisipatif berubah menjadi formalitas prosedural. Suara rakyat bukan penentu arah, melainkan pelengkap legalitas belaka.
Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Ironi terbesar mungkin terletak pada sila kelima. Kekayaan alam Papua tak terbantahkan, namun tingkat kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan justru tertinggal jauh. Ketimpangan bukan hanya soal statistik, melainkan soal keberpihakan. Keadilan sosial di Papua terasa jauh dari ideal, ketika distribusi kekayaan tidak merata dan kesejahteraan hanya menjadi milik segelintir elit dan investor.
Cermin yang retak
Pancasila bukan sekadar ideologi normatif. Ia adalah janji luhur negara kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat Papua. Ketika janji itu diabaikan dan nilainya diingkari, Pancasila berubah menjadi cermin yang retak. Dan refleksi dari cermin yang retak adalah wajah bangsa yang tidak utuh—penuh luka, penuh paradoks.
Apa yang Harus Dilakukan?
1. Mendorong pendidikan Pancasila yang kritis, kontekstual, dan membumi.
2. Meninjau ulang seluruh kebijakan di Papua dengan prinsip keadilan dan partisipasi.
3. Menegakkan HAM dan menjamin perlindungan hukum secara adil.
4. Memberikan ruang ekspresi dan pengakuan terhadap identitas budaya Papua.
5. Mengembalikan Pancasila sebagai alat pembebasan, bukan penundukkan.
Penutup
Pancasila harusnya menjadi cahaya yang menerangi jalan bangsa, bukan kabut yang menyamarkan kenyataan. Di Tanah Papua, peringatan Hari Lahir Pancasila mestinya tidak hanya dirayakan dengan upacara, tetapi dengan keberanian untuk mengakui luka dan komitmen untuk menyembuhkannya. Sebab hanya dengan kejujuran dan keberpihakan pada kebenaran, Pancasila bisa kembali hidup—bukan sekadar dalam pidato, tetapi dalam tindakan nyata.
Sumber : Denius Kogoya, S.Pd, M.Pd. Ketua PIKI Provinsi Papua Pegunungan
Reporter. Saranus kogeya